Filosofi Wabi Sabi Jepang: Mengenal Makna Keindahan dalam Ketidaksempurnaan

HARIANE JOGJA – Filosofi wabi sabi Jepang menjadi salah satu hal yang dicari oleh masyarakat kekinian di tengah padatnya arus modernisasi. Tak ayal, sejumlah penulis buku, youtuber, hingga blogger banyak yang membahas perihal filosofi ini.

Filosofi wabi sabi Jepang merupakan sebuah pandangan filsafati masyarakat Jepang yang menyangkut penerimaan terhadap segala bentuk ketidaksempurnaan dalam hidup.

Istilah filosofi wabi sabi Jepang kerap digunakan dalam bidang kesenian maupun hal-hal yang berkaitan dengan estetika dengan menerima siklus alami dari pembusukan, pertumbuhan, dan kematian.

Berikut beberapa penjelasan mengenai filosofi wabi sabi Jepang yang dilansir dari kanal YouTube 1 Hari Sukses.

BACA JUGA:  Jadwal Konser NDX AKA Desember 2023, Catat Tanggal dan 3 Lokasi Manggung di Jogja

Arti Filosofi Wabi Sabi Jepang

Filosofi wabi sabi Jepang berasal dari gabungan dua kata, yaitu wabi dan sabi. Wabi sendiri berasal dari kata sifat wabishii yang secara umum digunakan untuk merepresentasikan kemiskinan dan kesedihan serta kata kerja wabu yang berarti merana.

Sebagian yang lain mengartikan kata wabi sebagai sifat sederhana, rendah hati, tidak materialistis, kesendirian, dan rasa kesepian.

Sedangkan kata sabi berarti pertumbuhan atau pergerakan alami yang menyatakan bahwa keindahan tak dapat berlangsung seumur hidup.

Pada zaman dahulu, kata sabi dimaknai sebagai suatu kehancuran atau ketandusan ketika manusia bertambah tua.

Menurut Richard Powell, penulis buku Wabi Sabi Simple, filosofi wabi sabi (侘寂) menjaga semua yang otentik dengan mengakui tiga hal, yaitu realitas bahwa segalanya tak ada yang abadi, selesai, atau pun sempurna.

Sejarah Filosofi Wabi Sabi Jepang

Filosofi wabi sabi Jepang yang awalnya merupakan sebuah konsep Buddhisme Zen yang diperkirakan muncul pertama kali pada masa Dinasti Tiongkok, yaitu tahun 960-1279 Masehi.

Admin