Mengenal Perpustakaan Widya Budaya di Kraton Jogja, Tempat Menyimpan Arsip dan Manuskrip Berharga

Sri Sultan Hamengku Buwono VIII adalah yang pertama kali melakukan perlembagaan perpustakaan keraton dan mengubah struktur administrasi ke dalam bentuk tepas (divisi).

Pada 1920, Perpustakaan Widya Budaya dibangun dengan mengalihfungsikan sebuah gedung.

Sri Sultan Hamengku Buwono VIII juga membangun Kawedanan Kridhamardawa sebagai tempat penyimpanan karya sastra yang berkaitan dengan seni pertunjukan karena beliau menaruh perhatian pada seni pertunjukan Wayang Wong. Koleksinya berjumlah 704 naskah.

Pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1940-1988), persoalan kesusastraan dan perpustakaan keraton dikelola oleh Kawedanan Punakawan Kori.

Pengembangan kesusastraan dikelola oleh Abdi Dalem Punakawan Kapujanggan, sementara Abdi Dalem Punakawan Banjarwilapa mengurusi perpustakaan keraton.

Sri Sultan Hamengku Buwono X kemudian melembagakan perpustakaan keraton sesuai tugas masing-masing tepas (divisi).

Meski begitu, koleksi utama yang berkaitan dengan manuskrip, arsip, hingga hasil penelitian, majalah, koran lawas, dan beberapa buku bahasa asing dikelola oleh Kawedanan Widya Budaya.

Pada masa ini, Kawedanan Kridhamardawa kemudian hanya menyimpan manuskrip Bedhaya Semang, dan Gendhing Sekaten, serta memproduksi booklet untuk pementasan terbaru saja. Manuskrip lainnya dikelola di Widya Budaya.

Di Perpustakaan Widya Budaya bisa dijumpai manuskrip berupa serat dan babad. Selain itu ada pula arsip-arsip keraton, dan arsip litografi lawas.

Dilansir dari laman Museum Nasional Indonesia, manuskrip adalah tulisan tangan asli yang berumur minimal 50 tahun dan punya arti penting bagi peradaban, sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Admin