Filosofi Wabi Sabi Jepang: Mengenal Makna Keindahan dalam Ketidaksempurnaan

Wabi sabi mengalami perkembangan pada zaman Dinasti Song, tepatnya saat kesenian mulai menerapkan prinsip estetika yang mengutamakan kesederhanaan berdasar pertumbuhan alami.

Karya seni itulah yang menjadi unsur pembangun dari karakteristik estetika wabi sabi.

Adapun upacara minum teh di Jepang pada zaman Kamakura diperkenalkan oleh Nanpo Shomyo. Sepanjang upacara berlangsung, semua peralatan asli Tiongkok yang digunakan terlihat mahal dan indah.

Di sisi lain, seorang ahli upacara minum teh bernama Murata Shuko lebih memilih peralatan sederhana meski tampak kurang menonjol.

Hal ini membuat upacara minum teh wabi sabi terasa lebih alami dibandingkan konsep upacara minum teh milik Nanpo Shomyo.

Masa berikutnya terdapat seorang biksu Zen bernama Sen no Rikyu yang menetap beberapa tahun di kuil Daitokuji dan menjadi tokoh penting dalam perkembangan upacara minum teh.

Rikyu menjadi kepala upacara minum teh untuk samurai bernama Toyotomi Hideyoshi.

Dalam upaya merancang ruang minum teh, Rikyu memaksimalkan penggunaan bahan yang berasal dari alam seperti gelagah, bambu, kayu, dan tanah liat. Ide-ide tersebut ia dapatkan dari desain minimalis berbagai kuil Zen.

Terdapat sejumlah prinsip Zen dalam upaya pencapaian estetika filosofi wabi sabi Jepang, yaitu keagungan (kouko), asimetri (fukinsei), kebebasan (datsuzoku), kesederhanaan (kanso), kealamian (shizen), dan ketenteraman (seijaku).

BACA JUGA:  Lakukan 5 Sikap yang Tepat Saat Wawancara Kerja Ini, Kandidat Auto Keterima!

Filosofi Wabi Sabi Jepang dalam Kehidupan

Filosofi wabi sabi Jepang tak hanya diterapkan dalam seni estetika, melainkan juga kehidupan secara luas di mana manusia seringkali mengejar suatu kesempurnaan yang tidak realistis hingga membebani diri sendiri.

Admin