Upacara Labuhan Keraton Yogyakarta 2023 sebagai Rangkaian Hajad Dalem, Begini Sejarah dan Filosofinya

Upacara labuhan bermula pada pemerintahan Panembahan Senopati yang konon mencoba mencari dukungan moril untuk memperkuat kedudukannya, yakni dari Kanjeng Ratu Kidul, jin penguasa laut selatan (Samudra Indonesia).

Upacara labuhan kemudian menjadi tradisi di Kerajaan Mataram. Sebab, Kanjeng Ratu Kidul dipercaya hidup sepanjang masa, sehingga Raja-Raja Mataram pengganti Panembahan Senopati tetap melestarikan tradisi labuhan sebagai penghormatan atas ikatan perjanjian tersebut.

Adapun kewajiban melaksanakan labuhan ini terus berlangsung sampai saat ini, meskipun kerajaan Mataram telah terbagi menjadi dua (yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta) ketika terjadi Perjanjian Giyanti pada tahun 1755.

Sementara itu dilansir dari laman kratonjogja.id, labuhan memiliki makna membuang, meletakkan, atau menghanyutkan. Jadi, maksud dari labuhan ini adalah sebagai doa dan pengharapan untuk membuang segala macam sifat buruk.

Pada pelaksanaannya, Keraton Yogyakarta akan melabuh benda-benda tertentu yang disebut sebagai ubarampe labuhan di tempat-tempat tertentu atau yang disebut petilasan, beberapa di antaranya merupakan benda-benda milik Sultan yang bertahta.

Pada masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Hajad Dalem Labuhan tidak diselenggarakan untuk memperingati hari penobatan (Jumenengan Dalem) melainkan untuk peringatan hari ulang tahun Sultan (Wiyosan Dalem) berdasarkan kalender Jawa.

Sementara, pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono X, Hajad Dalem Labuhan dikembalikan untuk peringatan Jumenengan Dalem atau kenaikan tahta.

Admin