Sumino, Nafas Tradisi dari Suara Kendang Gunungkidul

GUNUNGKIDUL – Di Padukuhan Sunggingan, Kalurahan Umbulrejo, Kapanewon Ponjong, Gunungkidul, suara kendang kadang terdengar lirih di antara desir angin dan gemericik air sumur tua. Di sanalah hidup Sumino (65), seorang perajin kendang yang setia menjaga denyut kesenian tradisional di tengah derasnya arus modernisasi.

Sejak remaja, Sumino telah tenggelam dalam dunia seni. Ia tumbuh di lingkungan yang akrab dengan gamelan, wayang, dan uyon-uyon.

“Dari kecil saya suka main kendang. Lama-lama belajar sendiri cara membuatnya,” tuturnya sambil tersenyum mengenang masa mudanya.

Pada usia 17 tahun, ia mulai mencoba membuat kendang secara otodidak. Tanpa guru, tanpa panduan tertulis—hanya berbekal rasa dan pendengaran.

Kendang Gunungkidul yang Menembus Batas Daerah

Karya pertamanya justru menarik perhatian sejumlah grup kesenian di sekitar Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sejak saat itu, Sumino menapaki jalan panjang sebagai pembuat kendang tradisional.

Meski kini teknologi sudah mampu mempermudah pekerjaan tangan, Sumino tetap setia pada cara lama: menatah kayu secara manual.

“Kalau dikerjakan dengan tangan, suaranya lebih marem. Ada nyawa di setiap hentakan,” ujarnya.

Proses pembuatan kendang baginya bukan sekadar kerja tangan, tetapi juga olah rasa dan batin. Ia memilih kayu nangka tua—bahan yang dianggap paling ideal karena kuat dan mampu menghasilkan resonansi yang dalam.

Setiap kendang memerlukan waktu sekitar tujuh hingga sembilan hari untuk rampung: dari memilih kayu, memahat, mengamplas, memasang kulit sapi atau kerbau, hingga mengencangkan tali pengikatnya.

Di sela pekerjaannya, Sumino kadang menyiapkan “jenang bakal”—campuran beras, kelapa, dan gula—sebagai penenang hati.

“Bukan ritual, hanya supaya hati adem sebelum bekerja,” katanya pelan. Ia percaya, suara kendang yang baik lahir dari tangan yang tenang.

Puluhan tahun menekuni kerajinan ini, karya Sumino kini telah melanglang buana ke berbagai daerah: dari DIY hingga Jakarta. Harga kendangnya bervariasi, antara Rp3,5 juta hingga Rp5 juta, tergantung ukuran dan tingkat kerumitan.

Namun baginya, nilai sejati dari sebuah kendang bukan pada rupiah, melainkan pada harmoni antara tangan, kayu, dan jiwa pembuatnya.

“Kalau hati tidak tenang, hasilnya juga tidak enak didengar,” ucapnya. “Kendang itu seperti manusia, kalau dibuat dengan rasa, suaranya bisa bicara.”

Di usia senja, Sumino mungkin tak lagi sekuat dulu. Tapi di setiap tabuh kendang yang keluar dari bengkelnya, masih terdengar denyut budaya Jawa yang hidup—dijaga oleh tangan seorang seniman yang tak pernah berhenti percaya bahwa tradisi adalah jiwa yang harus terus dipukul agar tak diam selamanya.****

Ramadhani Putri